Tahun 2013 dibuka dengan beberapa masalah yang menghampiri Jakarta. Salah satunya adalah banjir yang melumpuhkan berbagai aktivitas warga Jakarta dalam beberapa hari terakhir ini. Meningkatnya curah hujan menjadi salah satu hal yang dikambinghitamkan atas terjadinya banjir Jakarta.
Namun, masalah ini bukanlah sesuatu hal yang baru bagi warga Jakarta. Hal ini sudah menjadi momok bagi warga Jakarta terutama yang bermukim di kawasan rawan banjir selama beberapa dekade terakhir. Seakan-akan tidak banjir sudah menjadi kutukan kepada Jakarta dan tidak ada solusi maupun seseorang yang dapat mencabut kutukan tersebut
Sekilas Sejarah Banjir di Jakarta
Jakarta Tempo Doeloe
Banjir Jakarta memiliki sejarah panjang. Tercatat bahkan tahun 1878, 134 tahun y.l. pun di Jakarta yang ketika itu masih bernama Batavia sudah terjadi banjir dikarenakan hujan selama 40 hari tidak berhenti-henti. Hampir setiap tahun di Batavia terjadi banjir, dalam [2] mencatat Januari-Februari 1918 di Kampung tanah tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang terjadi banjir karena selokan terlalu kecil dan meluapnya Sungai Ciliwung, kemudian tahun 1919, 1923, Desember 1931, Januari 1932, Maret 1933 banjir kembali berulang. Dikatakan di sana karena sering berulang inilah maka warga Batavia telah menganggap banjir sebagai hal yang wajar. Yang menarik dicatat di sini adalah antara 1892-1918 daerah kota lama jarang banjir, hal ini menunjukkan drainase kota di kota lama Batavia lebih baik
Demikian juga setelah kemerdekaan, Januari 1952, 1953, November 1954, 1956, banjir kembali melanda Jakarta sampai ada karikatur untuk banjir berulang ini. Tahun 1950-1960 tercatat banjir terjadi di daerah Sungai Ciliwung hilir. Tercatat pada bulan Februari 1960 Jakarta mengalami banjir besar, paling parah terjadi di daerah Grogol. Selama ini banjir hanya ditangani oleh masyarakat, baru tahun 1963 masalah banjir ditangani oleh tim khusus bentukan pemerintah.
Periode tahun 1960-1970 daerah banjir semakin meluas dan penduduk yang tinggal di bantaran sungai semakin banyak. Ditengarai antara tahun 1970-1980 siklus banjir semakin pendek, artinya banjir semakin sering terjadi. 1976 di zaman gubernur Ali Sadikin, terjadi banjir hebat, wakil gubernur A Wiriadinata sampai bermalam di pintu air Manggarai, walikota Jakarta Pusat saat itu melaporkan hampir 8 hektar wilayahnya terendam banjir.
Sejarah Usaha Pengendalian Banjir Jakarta Hingga Kini
Kanal Banjir Barat
Usaha-usaha mengatasi banjir sebetulnya juga sudah dipikirkan pula oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1920 Prof H. van Breen dari BOW (cikal bakal Kementrian Pekerjaan Umum) merilis gagasan untuk membangun dua saluran kolektor yang mengepung kota guna menampung limpahan air, yang selanjutnya akan dialirkan ke laut. Saluran pertama menyusuri tepian Barat kota, yang kedua melalui tepian Timur kota. Karena tepian Barat lebih dekat dengan pusat Kota Batavia maka saluran di tepian Barat dulu yang dibangun dengan nama Kanal kali Malang pada tahun 1922.
Kanal Kali Malang ini kemudian dikenal Kanal Banjir Barat (KBB) antara Manggarai-Muara Angke sepanjang 17,4 km. Rencananya Kanal Banjir Barat ini akan diperluas tapi karena sulitnya membebaskan tanah, perluasan Kanal Banjir Barat tertunda sebagai gantinya dibuatlah jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Kanal Banjir Barat hanya mampu menampung sampai 370 meter kubik per detik. Antara tahun 1983-1985 telah dibangun pemerintah Cengkareng Drain, Cakung Drain, Sudetan kali sekretaris.
Sedangkan saluran tepian ke Timur tidak sempat terbangun karena Perang Dunia ke-2. Baru dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta” pada Desember 1973. Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon Koei pada 1997. Penggalian untuk Kanal Banjir Timurnya sendiri baru dimulai pada tahun 2003. Panjang Kanal Banjir Timur ini 23,6 km dengan daya tampung limpahan air 390 m kubik per detik. Selain itu, BKT juga dilengkapi dengan sistem kolam sedimen berukuran 300 x 350 meter di kawasan Ujung Menteng. Sistem kolam ini berguna untuk menangkap sedimen agar badan kanal tetap leluasa.
Jakarta 1885, diatas Kali Ciliwung yang masih Hijau
Letak Jakarta Yang Rendah
Banjir Jakarta 2013
Curah hujan yang turun sepanjang dua hari terakhir ternyata lebih kecil jika dibandingkan dengan curah hujan harian saat terjadi banjir besar pada 2007. Namun, dampaknya hampir setara. Luapan Sungai Ciliwung merendam kawasan di Jatinegara dan daerah lain yang dilintasinya. Ini persis sama seperti ketika banjir besar melanda Jakarta lima tahun lalu.
Secara keseluruhan, banjir merendam hingga 50 kelurahan di Ibu Kota, Selasa lalu. Sampai Rabu 16 Januari 2013, banjir masih bertahan di sejumlah tempat dan memutus ruas jalan, seperti jalan Tangerang-Jakarta di kawasan Ciledug. Total, hampir 10 ribu orang mengungsi.
Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti, membenarkan. Menurutnya, meski curah hujan di kawasan hulu Ciliwung-Cisadane lebih kecil, dampak ke Jakarta lebih hebat karena daya serap air di kawasan Puncak, Bogor, sudah semakin lemah. Berdasarkan kajian dengan citra satelit, keseimbangan ekologis kawasan Puncak pada awal tahun ini merosot hingga 50 persen dibandingkan pada 15 tahun sebelumnya.
Pada saat yang sama, sungai-sungai di Jakarta semakin kehilangan kemampuan mengalirkan air hingga 70 persen karena penyempitan dan pendangkalan. Kondisi ini dan yang terjadi di Puncak bermuara pada banjir di Jakarta yang semakin parah.
Penyempitan kali dituding sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Pemprov DKI Jakarta, Ery Basworo, saat dihubungi, Selasa (3/4).
Menurut Ery, banjir yang melanda sebagian wilayah di Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Timur, diakibatkan area tangkapan (catchment area) sungai di tiga wilayah tersebut sudah semakin sempit. Rata-rata lebar semua kali di Jakarta hanya lima meter, padahal area tangkapan ideal 20 meter.
Banjir tidak hanya dipicu oleh faktor meteorologis, tetapi juga penataan ruang, pendangkalan sungai, dan sebagainya. Jadi, banjir tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan faktor cuaca.
Presiden SBY dan Menlu saat mengamati banjir yang melanda di sekitar Istana Negara (17/1/13)
Solusi ???
Pemerintah telah melakukan berbagai usaha pencegahan dna penanggulangan banjir Jakarta sejak dahulu kala. Pembangunan Banjir Kanal Timur telah dijalankan sejak dulu, namun banjir seolah tidak peduli dengan adanya banjir kanal timur. Beberapa usaha alternatif lain yang mungkin di jalankan antara lain:
1. Pembuatan Bendungan Air Laut
2. Pembangunan Sungai Alur Banjir (Flood Way)
3. Budaya Kebersihan Warga Jakarta
4. Pembuatan Sumur Resapan
5. Deep Tunnel
Berbagai solusi telah ditawarkan para pakar. Beberapa telah dijalankan dan beberapa pula masih dalam tahap pengkajian.Lalu, Bagaimana peran kita sebagai sarjana teknik sipil dalam mengatasi permasalah banjir Jakarta yang seakan tak berujung ini? Apa saja solusi inovatif yang dapat kita tawarkan dalam mengatasi banjir? Seperti yang telah kita ketahui, Teknik Sipil merupakan bidang yang bertanggungjawab atas hajat hidup orang banyak serta hal yang mendukung aktivitas keseharian masyarakat. Sudah seharusnya kita sebagai agent of change lebih peduli terhadap masalah ini dengan memberikan solusi yang solutif. Jangan hanya sekadar menyalahkan Gubernur, menjatuhkan mereka karena tidak bisa mengatasi masalah banjir, atau mengungkit masalah klasik dalam masyarakat sepeti mengumpat "Ah, ini mah salah masyarakat sih yang membuang sampah sembarangan".
Kita sebagai orang-orang terpilih yang berkesempatan menuntut ilmu teknik sipil dan mengemban amanah untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik di masa depan sudah semestinya mendukung usaha pemerintah dalam mengatasi banjir dan memberikan solusi-solusi alternatif dan inovatif terhadap permasalahan banjir ini
Semangat Berkarya Membangun Negeri!!
Sumber:
green.kompasiana.com
tempo.co
republika.co.id
ilmusipil.com
sains.kompas.com
IPTEK 2013