#footer-column-divide { clear:both;background: #3B5998;color:#ffcc66; } .footer-column { padding: 10px; }

Senin, 28 November 2011

Jorney to Schlumberger (Part: Audition)


Bintaro, 06:18 WIB
INI kali pertama saya melakukan perjalanan menuju Bintaro. Seriously, biar mungkin sudah lebih dari 20 tahun saya hidup dan besar di Jakarta, nyatanya belum semua daerah pernah saya kunjungi.
Untuk hitungan rute dalam kota Jakarta, ini perjalanan paling jauh yang pernah saya lakukan: Bintara – Bintaro. Biar nama beda tipis, nyatanya kedua lokasi ini terletak sangat berjauhan. Bintara, akses tol terdekat dari rumah saya, terletak di pinggir Timur Jakarta, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sedangkan Bintaro sudah hampir dekat dengan BSD (Tangerang). Kebayang kan seberapa jauhnya perjalanan yang saya tempuh untuk ukuran rute dalam kota?

Saya udah memprediksi bakal butuh waktu 2-3 jam untuk sampai di Bintaro dengan lokasi tujuan RS Premier (Ramsay Health Care), ini sudah termasuk perhitungan kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jakarta yang terkadang kelewat nggak waras terhadap waktu.
Mengingat kedatangan saya ditunggu oleh pihak rumah sakit jam 8 pagi, sebagai langkah antisipasi, saya dan bokap pun memutuskan untuk berangkat dari jam 5 subuh. Ini cobaan banget buat saya yang beberapa belakang ini begadang semalaman terus. Saya paksakan diri agar kantung mata yang berat ini mau terbuka dikit. Dua-tiga kali siram pakai air dingin, saya nggak bisa bangun juga. Akhirnya, saya cemplungin aja sekalian badan saya serta seisinya ke bak dan berendam sampai saya kegigilan dan nggak ngantuk lagi.
Semua pengorbanan ini saya lakukan agar saya bisa datang lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. Nyatanya, prediksi saya meleset total. Macet cuma berlaku untuk rute berlawanan. Jalanan tampak lenggang banget, mau coba koprol atau ngerasain damainya seduh teh di tengah jalan tol juga bisa.
Sangking lancarnya, perjalanan dari rumah sampai tiba di rumah sakit ini NGGAK LEBIH dari 60 menit!!!
Pertama kali dalam sejarah, saya merasa Jakarta layak untuk ditinggali.
Sekarang, sambil menunggu pelayanan rumah sakit dibuka, saya duduk dengan manis di Starbucks Coffee dan menikmati layanan internet nirkabel gratis yang tersedia di rumah sakit ini.
Berhubung saya disini dalam rangka seleksi akhir rekrutmen Schlumberger, Ltd, yaitu medical check-up, mungkin saya bisa ceritakan sedikit banyak perjalanan panjang yang saya lalui untuk akhirnya bisa bernafas lega mendapatkan tawaran dari perusahaan provider jasa teknologi untuk gas dan perminyakan terbesar di dunia ini di posisi yang diinginkan sekaligus berbagi sedikit tips yang mungkin bisa kamu terapkan saat menghadapi seleksi kerja nanti.
Tuesday, 26th of April 2011
Rekrutmen Tahap I – IV
Ini adalah kali pertama saya mengikuti audisi kerja. Rasanya belum kebayang aja saya harus berpakaian super rapi dan tampilan rambut paling necis dengan menenteng satu map berisikan daftar riwayat hidup dan transkrip nilai. But, I did for real!
Sebelum berangkat, saya benar-benar memperhatikan tampilan kali ini. Well, sebenarnya ini bukan kali pertama saya sengaja tampil serapi ini. I mean tentu saat saya diundang ke acara formal, pakaian yang seperti ini yang saya kenakan: kemeja lengan panjang dan celana bahan berwarna suram nyaris tanpa urakan. Tapi, ada satu hal yang belum pernah saya perhatikan di setiap tampilan ini.
Saya nggak pernah sadari bulu-bulu di bagian atas bibir dan dagu itu bertumbuh kian panjang dan melebat. Fisik ini bertambah dewasa. I definitely can see that.
“Waktu nggak pernah berjalan sendirian;
ia selalu ditemani usia.”
Rasanya konyol sekali melihat sebuah perubahan terjadi dalam hidup, termasuk penampilan fisik, tanpa kita sadari sama sekali.
Saat terbangun dan sadar bahwa kini saya sudah menginjak tahun ke-21 dan akan menyelesaikan masa studi S1 di bulan September ini, saya merasa ini semua seperti ilusi. Aneh.
Rasanya baru kemarin, saya pulang ke rumah setiap sore dengan seragam putih-merah, botol minum yang dikalungkan di leher dan jeritan histeris nan dramatis macam anak kambing kehilangan induk hanya karena kelewatan tayangan ulang eposide khusus terkuaknya pelaku pembunuhan ayah kandung Fernando Jose dan pulihnya ingatan Rosalinda setelah menjadi gila karena Erika, anak buah pernikahannya dengan Jose, diculik Valeria, sang Ibu mertua jahanam.
Rasanya baru kemarin, saya menempelkan poster band/boyband era 90′an macam A1, Backstreet Boys, The Cranberries, The Corrs, dan Fool’s Garden di sekujur dinding kamar dan bermimpi untuk direkrut menjadi personil tambahan.
Rasanya baru kemarin, tembang lawas “Stay The Same ” dari Joey Mcintyre mengudara di radio maupun di MTV dan berpikir akan sangat keren kalau saya menyanyikan itu di depan kelas dan mengucapkan: “This is for you, Dinda!” setelah semua anak mengumpulkan Arif dan Kunti ke meja guru pertanda pelajaran akan segera berakhir.
Rasanya semua baru terjadi kemarin.
Sekarang, di saat kita menyadari telenovela telah tergantikan posisinya oleh drama Korea, Justin Timberlake berganti Justin Bieber, Sega berganti Xbox, dan MRiC menjadi BlackBerry Group, kita sendiri tidak menyadari perubahan yang telah terjadi di dalam hidup kita sendiri.
At the end, saya baru menyadari bahwa saat telah banyak berubah, seperti halnya tren musik, games, dan serial TV.
Saat menyadari ini semua, saya melihat bayangan yang terpantul di cermin sebagai gambaran diri saya di tahun 2011 dan rasanya benar-benar konyol saat saya membandingkannya dengan David di tahun 1995 dan 2005. It was all completely different.
Saya hidup di era yang berbeda dengan karakter yang berbeda. Sekarang, untuk apa David 2011 ini menjalani hidupnya?
Nobody knows, so do I. Biarlah ini menjadi rencana indah Tuhan, sehingga saya bisa merasakan kejutan luar biasa di fase akhir dalam kehidupan saya ini.
Yang pasti, saya percaya bahwa saya sedang berjalan menuju sana. Mungkin, yang saya lakukan saat ini adalah bagian dari pencapaian menuju akhir dari kisah kehidupan saya.
Ini mengingatkan saya akan sebuah quote yang pernah saya post di status akun personal Facebook saya setahun lalu.
“Being a fruitful figure is a long row to hoe. But, I do believe that rolling stone gathers no moss. I’m not ace in the hole, so I won’t asleep at the wheel. I’m fighter, I must be bold.
- David Immanuel Sihombing -”
Satu yang takkan berubah sekalipun dilekang waktu: keyakinan. Dari dulu hingga sekarang, saya yakin bahwa saya sedang menjalani proses menuju apa yang saya sebut sebagai “ketenangan abadi“.
Di ujung tangga kehidupan ini, saya akan menemukan kembali kehidupan yang saja jalani dari tahun ke tahun dalam waktu yang bersamaan dengan seluruh orang yang pernah saya kenal dalam hidup saya. Dan yang terpenting, disana saya akan menjalaninya bersama Tuhan secara tatap muka.
Jadi, disini saya berdiri di hadapan cermin untuk bersiap menjalani hidup dan menghadapi masa depan. Kelak, 5 tahun lagi saya akan kembali dan mempertanyakan hal yang sama, namun dengan kondisi yang telah jauh berbeda dari saat ini.
Saya tiba di depan auditorium PSJ UI, di antara 230 mahasiswa tingkat akhir seperti saya, berdandan tak kalah rapi seperti saya, dan datang dengan tujuan yang tak berbeda seperti saya: berjuang untuk meraih “ketenangan abadi”.
Saya datang terlambat. Salah saya memang, bukan karena padatnya perlintasan Ibukota atau rusaknya kereta di tengah perjalanan.
Untungnya, audisi belum dimulai. Pelamar masih sibuk mencari siapa saja pelamar lainnya yang tampak familiar bagi kedua bola matanya dan pihak pengundang masih mempersiapkan materi sebelum memulai presentasi pengantar.
Saat ruangan terlihat sudah mulai padat dan sedikit rusuh, presentasi pun dimulai. Ada beberapa perwakilan Schlumberger disana, satu merupakan pekerja asing sedangkan tiga lainnya merupakan warga asli Indonesia, termasuk Bapak Wijaya dan Ibu Kris. Kalian akan mengenal akrab dua nama ini jika pernah terlibat dalam rekrutmen dari perusahaan ini.
Pembawaan orang-orang yang bekerja di perusahaan ini sangat tenang dan keras. Saya bisa melihat korelasi pekerjaan terhadap pembentukan karakter pegawai di perusahaan ini. Seluruhnya tampak disiplin, tangguh, dan memiliki motivasi yang sangat tinggi, terbawa dari faktor lingkungan dan aktivitas pekerjaan yang penuh tekanan fisik dan mental.
Bukan sekali atau dua kali, mereka mengingatkan soal ketangguhan untuk bekerja di perusahaan oilservice terbesar di dunia ini. Lebih dari 110.000 pekerjanya yang berasal dari 140 kewarganegaraan berbeda pernah merasakan hidup dan bekerja di tengah padang pasir dengan suhu rata-rata mencapai 45 derajat celcius, atau di tengah hutan yang jauh dari peradaban manusia.
Nyatanya, mereka yang berhasil melewati tantangan ini justru tidak hanya memetik buahnya dari segi finansial, namun juga pembentukan karakter yang bermental baja.
Sesi ini ditutup dengan tanya-jawab. Dari sini, saya baru sadar ternyata 230 pelamar yang memadati ruang PSJ tidak hanya berasal dari UI, ada yang merupakan lulusan PT asal ITB, UGM, USU, Trisakti, Atmajaya, bahkan termasuk dari luar negeri, seperti Australia dan Perancis.
Yang lebih membuat saya terkejut, orang yang duduk di sebelah saya ternyata adalah lulusan program Master dan saat ini duduk bersama saya untuk tujuan yang sama yaitu berharap dapat bekerja di perusahaan ini.
Oh, iya, di sesi ini juga saya baru mengetahui seseorang yang telah mengikuti rekrutmen perusahaan ini di lokasi-lokasi sebelumnya, yaitu di UGM yang dihadiri sekitar 300 pelamar dan di ITB dengan jumlah pelamar mencapai lebih dari 1.000 orang. Semua ini diseleksi untuk dapat mengisi kekosongan kuotaField Engineer yang jumlahnya mungkin tidak lebih dari 30.
Tahap pertama pun dimulai: Brief Interview. Seluruh peserta dibagi ke dalam 4 baris berdasarkan nomor urut untuk diwawancara oleh pihak perekrut. Disini, saya diwawancarai oleh seorang eskpatriat yang jika saya tidak salah berkebangsaan Morocco.
Tips #01: Kenali Siapa Lawan Bicaramu
Mengetahui latar belakang siapa yang akan mewawancaraimu itu hukumnya WAJIB. Maksud saya, bukan berarti kami harus bisa mengorek kehidupan pribadinya dan kemudian membeberkan di hadapannya saat wawancara berlangsung, namun untuk membaca pikiran dan kepribadian orang itu.
Ini bisa jadi nilai positif buat kamu, sebab kamu bisa manfaatkan informasi yang kamu ketahui tentang dia untuk menimbulkan impresi baik tentang dirimu. Lebih bagus lagi, membuat dia terkesan dengan kamu.
Hal ini yang saya lakukan saat mengikuti audisi kerja saat itu. Saat saya tahu beliau berkebangsaan Morocco, ini membuka sebuah peluang bagi saya untuk meninggalkan kesan baik saat wawancara berlangsung.
Terletak di barat laut Afrika, negara ini merupakan bekas jajahan kolonial Perancis dan merdeka di tanggal 2 Maret 1956. Informasi ini setidaknya menyadarkan saya bahwa penduduk Maroko, termasuk beliau, kemungkinan besar bisa berbicara bahasa Perancis dengan fasih.
Saya pun mencoba mempraktekan sedikit bahasa Perancis yang pernah saya pelajari untuk membuka percakapan. Dan…
Dang! Usaha saya ini berbuah manis. Saat saya mengulurkan tangan kanan untuk berjabat tangan dan mengucapkan, “Bonjour, Monsieur!”
Beliau membalasnya dengan pandangan sedikit terkejut dan senyuman bahagia. Katanya, “Are you speaking French too?”
Walau disini saya kemudian bilang: “Tidak. Saya hanya mampu berbicara sedikit kata saja dalam Bahasa Perancis.”, namun setidaknya saya baru saja meningkatkan gairahnya kembali untuk memulai tes wawancara. Sebelum tiba giliran saya, beliau sudah mewawancarai lebih dari 50 pelamar dan bisa dibayangkan rasanya mungkin jenuh untuk melakukan hal yang sama untuk kesekian kalinya.
Jadi, impresi itu penting untuk dilakukan di awal hingga akhir tes. Saat wawancara akan berakhir, saya pun menutupnya dengan mengucapkan: “Merci beaucoupMonsieur! (Thank you very much, Sir!)”
Sederhana memang yang saya lakukan ini, hanya memulai dan menutup wawancara dengan kalimat sederhana pula, namun kesan yang saya tinggalkan untuk pihak pewawancara tidak sesederhana itu. Tindakan kecil ini nyatanya bisa merubah keputusan!
Saya bergegas menuju pintu keluar sesudahnya. Duduk tak jauh dari sana untuk menunggu pengumuman sebelumnya. Saya pikir ini akan memaan waktu lama untuk menentukan nama-nama yang berhak mengikuti tahap selanjutnya. Ternyata, tak lebih dari 8-10 menit, pengumuman itu sudah dipasang di kaca depan ruangan.
Dari 230 pelamar, dipilih sekitar 60 orang untuk mengikuti tes selanjutnya yaitu tes logika dan kemampuan dasar IPA. Soal dibuat dalam bentuk pilihan berganda dengan dua esai dalam bahasa Inggris. Saya tidak ingat persis betul prosesi tes tersebut, tetapi yang saya ingat dalam kurun waktu cukup singkat, kami diminta untuk menyelesaikan rangkaian pertanyaan seputar Fisika Mekanika, Fisika Listrik, dan Matematika.
Walau saya dibikin mati kutu di tahap ini, tapi ada satu tips yang saya bisa bagikan buat kalian…
Tips #02: Jawab Seluruh Pertanyaan, Apapun Soalnya!
Setahu gue, di luar Seleksi Masuk PTN, jawaban salah tidak mendapatkan nilai kurang. Artinya, kamu nggak perlu pelit untuk mengisi lembar jawaban. Kalau itu pertanyaan dengan pilihan berganda, pilih jawaban yang menurut kamu yang paling mendekati kebenaran. Kalau itu pertanyaan esai, isi saja semampumu!
Jangan biarkan satupun kosong, karena itu sama saja artinya kamu membiarkan orang lain mengambil kesempatanmu. Sementara, jawaban salah tidak akan mendapatkan nilai kurang, untuk apa kamu ragu-ragu menjawab? Jawab saja, siapa tahu ada penilaian atas usaha kamu atau bahkan mungkin saja jawaban kamu itu benar :)
Tetapi perlu dingat, biasanya lantaran terpaku pada soal, kita jadi melupakan durasi waktu pengerjaan. Biasakan mengingat sisa waktu yang ada agar kamu bisa menyelesaikan seluruh pertanyaan sebelum waktu habis.
Kali ini, saya tidak seoptimis yang awal. Saya sadar soal hitung-hitungan seperti ini bukan amunisi terbaik saya, apalagi jika dibandingkan dengan beberapa pelamar lainnya yang saya kenal betul mereka adalah ‘prajurit’ terbaik di kelasnya masing-masing dan datang ke ‘medan pertempuran’ ini dengan senjata yang mendapatkan sertifikasi ‘Cum Laude’ atau ‘Magna Cum Laude’, sementara punya saya sendiri masih jauh untuk bisa mendapatkan label itu.
But, who knows what future will be like? Nobody does.
Buat gue, jika harus berhenti di tahap ini, pencapaian ini sudah patut untuk disyukuri sekaligus dibanggakan. Setidaknya, ini bukan hasil yang mengecewakan untuk hitungan pertama kali mengikuti seleksi kerja.
Nyatanya, takdir berkata berbeda. Nama saya masih tertulis di daftar pengumuman lolos seleksi. Ini benar-benar mukjizat.
Rangkaian rekrutmen ke-3 ini ialah perpaduan dua tes: Focus Group Discussion(FGD) dan Presentation. Tes FGD bisa dipastikan akan selalu ada di setiap rangkaian audisi kerja dari perusahaan manapun, bahkan seleksi beasiswa juga mempersyaratkan pelamar mengikuti tes ini juga.
Tes FGD digunakan pihak perusahaan atau lembaga yang mengadakan tes untuk mengukur kemampuan individu saat bekerja di dalam tim. Pihak penyeleksi bisa melihat bagimana cara kamu dalam berbicara di depan publik, mengkomunikasikan ide/pendapat kamu kepada orang lain, menyampaikan sanggahan saat seseorang tidak sependapat dengan usulanmu, bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan tim, dan memimpin jalannya diskusi agar berlangsung optimal.
Sebelum tes FGD dimulai, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan sekitar 5-6 orang.
Setiap kelompok diminta untuk menyelesaikan sebuah kasus yang sama. Kasus yang diangkat saat itu seputar penyelamatan seseorang yang terluka kritis di tengah badai es di sebuah pegunungan.Saya tidak ingat persis, namun rasanya tidak jauh-jauh dari ini.
Dalam rangkaian tes ini, kamu dianggap terlibat dalam ekspedisi ini dan diminta untuk menentukan pilihan apa saja langkah-langkah yang akan kamu lakukan untuk menyelamatkan orang tersebut beserta rombongan.
Selanjutnya, pilihan kamu tersebut akan dirundingkan dengan pilihan dari teman sekelompok FGD lainnya untuk menentukan pilihan bersama. Di lembar soal memang disediakan dua kolom jawaban, satu untuk mengisi pilihan kamu dan disebelahnya merupakan kolom untuk pilihan kelompok.
Kalau saya tebak, bukan soal benar atau salah pilihan yang kamu buat untuk soal ini, tetapi seberapa besar kamu bisa mempengaruhi rekan se-tim untuk mengikuti masukan dari kamu.
Jika jawaban yang disepakati kelompok merupakan pilihan personal yang terletak di urutan paling akhir, artinya kamu cenderung menjadi follower di dalam diskusi dan tidak memiliki keberanian untuk mempertahankan argumentasi, sekalipun argumentasi kamu mungkin lebih benar.
Saya punya satu kiat jitu saat menghadapai tes ini:
Tips #03: Leading, Not Domineering
Usahakan agar kamu bisa berperan aktif dalam diskusi dan mengantarkan kelompok untuk sepakat di pilihan yang juga kamu pilih. Tapi perlu diingat, lakukan dengan etika diplomasi dan negoisasi ya, artinya jangan memaksakan dan bersikap arogan dalam diskusi. Ini justru memperlihatkan sifat kamu yang tidak mau mendengarkan kritik/saran dari orang lain dan menjadi penilaian yang buruk jika ada pihak perekrut yang melihatnya.
Seriously, mereka tidak hanya duduk diam di kursi sampai waktu FGD habis. Mereka akan benar-benar memperhatikan gerak-gerikmu, perilakumu, dan tata bahasa kamu disana.
Jangan takut untuk berbicara lebih dulu. Kamu justru bisa mendapatkan poin plus karena berani mengutarakan pendapat. Saran dari saya, mungkin kamu bisa membuka diskusi dengan mengajukan pertanyaan mengenai mekanisme diskusi kepada seluruh peserta, seperti misalnya: batasan waktu untuk setiap orang menyampaikan pendapatnya. Ini merujuk ke pola diskusi yang diterapkan di sidang PBB.
Kalau kamu aktif terlibat dalam simulasi sidang PBB, pasti familiar dengan istilah ‘motion to open the speaker’s list‘ dimana each delegation is recommended to speak for a predetermined amount of time.
Aturan ini penting banget, agar tidak ada yang overspeaking dan setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya. Ini tugas kamu yang pertama!
Selagi mereka berbicara satu-per-satu, kamu bisa mencatat pokok-pokok ide yang disampaikan oleh masing-masing orang. Setelah semua sudah mengutarakan opininya, termasuk kamu sendiri, tugas kamu selanjutnya ialah menyampaikan hasil diskusi sementara. Disini, kamu tidak perlu mengulang seluruh pendapat yang telah kamu catat, melainkan highlight poin-poin pentingnya saja, terutama jika kamu menemukan ada dua pendapat yang berseberangan.
Ini menjadi tugas kamu juga untuk memoderasi diskusi untuk mencapai kesepakatan atas perbedaan pendapat ini. Libatkan semua orang untuk berbicara, jangan hanya mereka yang mengutarakan pendapat berbeda saja.
Di kasus saya, ada perbedaan pendapat antara si A dan B. Setelah A dan B memberikan penjelasan mengenai pertimbangannya masing-masing, selanjutnya saya memberikan kesimpulan sementara dan menanyakan pendapat si C dan D terkait hal ini.
Penilaian dari C dan D ini saya jadikan sebagai pertimbangan tambahan untuk membuat keputusan. Jika seseorang kekeuh dengan pendapatnya, kamu bisa ambil langkah voting disini. Suka tidak suka, semua harus menerima keputusan mayoritas.
Namun, sebisa mungkin usahakan agar keputusan dibuat berdasarkankesepakatan bersama, bukan hanya sebagian besar orang. Voting berlaku, jika memang musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan.
Biasanya tes FGD berakhir disini. Mereka akan meminta kamu mengumpulkan lembar jawaban berisi pilihan kamu sendiri dan kesepakatan kelompok. Tapi, di rekrutmen yang sedang saya jalani, tes FGD masih dilanjutkan dengan sesi presentasi.
Disini, setiap orang di setiap kelompok diminta untuk menjelaskan pilihan personal dan diminta untuk membandingkannya dengan kesepakatan kelompok. Kalau kamu menghadapi tes sejenis ini, ingat tips berikut ini:
Tips #04: 3C (Confident – Creative – Communicative)
Selain untuk presentasi, tips ini juga berlaku untuk tes wawancara. Kenyataannya, banyak yang gagal saat menghadapi tes ini, padahal mereka terhitung yang diunggulkan oleh pihak penyeleksi.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mereka terlanjur pesimis dengan kemampuan mereka sendiri, sehingga bagai penyakit yang menjalar cepat ke seluruh tubuh, perasaan seperti ini dengan cepat pula merasuki pikiran mereka, membuat mereka kehilangan konsentrasi dan kepercayaan diri.
Itulah mengapa, kamu harus percaya diri! Percaya bahwa kamu itu pribadi yang unik, original, dan istimewa. Buat dirimu nyaman dengan situasi sekitar, terlebih pasang mata milik pihak perekrut. Jangan khawatirkan hasilnya seperti apa kelak, nikmati prosesnya dan setidaknya pastikan mereka melihat kemampuan terbaik kamu!
Kedua, jangan batasi pikiranmu. Buat apa kamu merisaukan kemungkinan kegagalan, justru pikirkan sebaliknya, apa yang bisa membuatmu tampil sukses di tes ini.
Just Be Yourself! Saat kamu yakin dengan kemampuan sendiri, kamu dapat berpikir creative dengan mudahnya. Jawaban yang berbeda, unik, dan cerdas justru memiliki nilai jauh lebih baik ketimbang jawaban yang seragam dengan yang lain.
Ini juga tak kalah penting, bersikaplah komunikatif dalam berekspresi. Tidak hanya gunakan verbal yang tepat, tunjukan antusiasme yang kamu miliki melalui gerakan tubuh saat melakukan presentasi atau wawancara. Tatap lawan bicara dengan seksama, berikan senyuman yang tulus, dan gerakan kedua tangan saat berbicara jika diperlukan.
Jangan salah lho, hal sekecil ini yang mungkin seringkali kamu sepelekan justru mampu mempengaruhi penilaian lawan bicara kamu. Mana yang lebih menarik, berbicara dengan tatapan kosong dan gestur tubuh ‘mati’ atau berbicara dengan gerakan tubuh yang komunikatif?
Seingat saya ini rangkaian tes paling akhir yang berlangsung di hari itu. Sekitar 30 pelamar yang telah lolos seleksi dimulai dari tes brief interview, tes kemampuan dasar, tes FGD, hingga tes presentasi, dikumpulkan di dalam ruangan untuk diberikan briefing mengenai informasi seleksi selanjutnya yaitu dua tes interview berikutnya.
Tapi perlu diingat, jangan sampai kelewat ekspresif ya. Bisa-bisa, kamu justru di-blacklist karena dianggap terlalu berlebihan dan norak.
By David Sipil UI 2007
Presiden GARUDA Youth Community | Duta Hijau Indonesia | Entrepreneur | Penulis | Kontributor di Media Indonesia dan The Jakarta Post | Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UI | ‘Young on Top’ Campus Ambassador | Blogger | Traveller | Delegasi UI untuk Harvard National Model UN 2009 | Delegasi Indonesia untuk WSES, Jerman 2011 | Penerima Beasiswa DYEA, Vietnam dan Jepang 2011 | Penerima Beasiswa Unggulan | Penerima Beasiswa “Indonesian Leadership Development Program

0 komentar:

Posting Komentar