#footer-column-divide { clear:both;background: #3B5998;color:#ffcc66; } .footer-column { padding: 10px; }

Senin, 28 November 2011

Seram! Jakarta Segera Tenggelam

Buah Kengawuran Tanpa Sanksi Setimpal
M. Rizal - detikNews


Jakarta - Pengelolaan tata kota Jakarta tidak terurus dengan baik dan teliti. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkesan membiarkan begitu saja pembangunan sejumlah properti baik untuk perumahan dan industri yang tidak memperhatikan dampak lingkungan.

Pengelolaan tata kota yang buruk itulah yang menjadi salah satu penyebab amblasnya tanah di Jakarta.Temuan Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) membuktikan kawasan industri berdampak besar terhadap amblasan tanah. Pengamatan JCDS menujukkan bagian Utara di Jakarta mengalami amblasan yang lebih besar dari bagian selatan Jakarta.
"Kawasan industri yang menggunakan banyak air tanah seperti di Cengkareng dan Pulogadung pun terbukti memberikan dampak yang lebih besar terhadap penurunan muka tanah (land subsidence)," kata Sawarendro, Deputy Representative Bos Witteveen, salah satu anggota Konsorsium JCDS pada detik+.

Fenomena terjadinya penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan yang akan membuat beberapa wilayah di Jakarta amblas dan banjir. Semakin hari, muka laut semakin lebih tinggi dibandingkan dengan muka daratan. Trend amblesan dan perubahan iklim semakin meresahkan.

"20-30 Tahun ke depan jika kita tidak melakukan sesuatu bisa dipastikan sebagian besar wilayah utara Jakarta akan tergenang air," tegas Sawarendro.

Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Ubaidillah mengatakan, rentannya penurunan tanah di Jakarta disebabkan lahan yang labil dan berpotensi abrasi oleh karena minimnya lahan konservasi sebagai pelindung pantai.

Green belt atau sabuk hijau seperti hutan bakau (mangrove) ini sebenarnya yang mampu menjaga kestabilan lahan dan mencegah abrasi, menahan masuknya air laut ke air tanah (intrusi), mencegah air laut pasang (rob), menahan angin laut ke darat, menetralisir limbah dan menjaga kehidupan biota laut.

"Lahan yang labil juga dikarenakan eksploitasi air tanah secara besar-besaran oleh bangunan-bangunan besar atau industri, ditambah padatnya arus kendaraan berat yang melintas di sepanjang pantai utara Jakarta," tegas Ubaidillah kepada detik+.

Sementara di daerah pusat Jakarta dan sekitarnya, penurunan tanah lebih disebabkan oleh beban bangunan yang padat dan berat selain penyedotan air tanah dalam sekala besar dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Padahal, Pemprov DKI Jakarta, penggunaan sumur bor maksimal hanya 100 m3 per liter. Akibatnya bisa ditebak, volume air tanah di Jakarta semakin menyusut. Terlebih lagi pembangunan gedung bertingkat semakin bertebaran.

"Saat ini air sulit meresap ke dalam tanah, karena sebagian besar lahan di Jakarta penuh dengan bangunan beton dan aspal dan menyisihkan sedikit lahan terbuka atau ruang terbuka hijau (RTH) yang hanya 9,9 %," jelas Ubaidillah.

Bila mengacu pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, setiap daerah provinsi diwajibkan mengalokasikan sekitar 30% lahannya untuk RTH. Dengan kondisi saat ini, curah hujan di Jakarta yang mencapai rata-rata 2 miliar per tahun, hanya 26 % nya yang mampu terserap ke dalam tanah.

Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Lambok M Hutasoit menerangkan faktor penyebab tanah amblas atau land subsidence di Jakarta adalah pengambilan air tanah yang begitu besar, pembebanan bangunan, kompaksi alamiah dan pergerakan struktur geologi. "Dua yang disebut pertama adalah man-made atau buatan, tapi dua yang terakhir adalah proses alamiah," terangnya kepada detik+.

Sayangnya belum ada penelitian yang mendalam yang mencoba mengurai persentase masing-masing faktor penyebab land subsidence itu. Kita juga belum mengetahui, apakah land subsidence yang terjadi di Jakarta adalah land subsidence ultimate atau bukan.

"Land subsidence ultimate artinya, penurunan tanah yang terjadi adalah penurunan tanah terakhir, atau tidak akan ada penurunan lagi," ungkap Lambok.

Faktor pengambilan air tanah, pembebanan bangunan, dan kompaksi alamiah adalah faktor-faktor yang memberikan ultimate subsidence. Untuk land subsidence yang terjadi karena faktor man-made, pencegahannya bisa dilakukan dengan pembatasan pengambilan air tanah dan pembatasan pendirian bangunan. Bila land subsidence yang terjadi di Jakarta belum merupakan ultimate subsidence, maka pembatasan pengambilan air tanah dan pembatasan pendirian bangunan tidak akan menghentikan land subsidence.

"Pembatasan kedua hal tersebut hanya berperan untuk tidak menambah land subsidence yang terjadi. Untuk dua yang terakhir, yaitu faktor alamiah, kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena itu adalah faktor alam," terangnya.

Bila pemerintah tidak serius mencegah tanah amblas ini, diprediksi Jakarta bakal tenggelampada tahun 2012. "Jika penggunaan air tanah secara berlebihan tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Saya tidak bisa bayangkan, mungkin rumor mengenai Jakarta tenggelam bisa saja terjadi pada 2012,” ujar Pendiri Indonesia Water Institut (IWI) Firdaus Ali.

Apalagi tahun depan bertepatan dengan dengan siklus hujan 5 tahunan. Walau menurut BMKG secara ilmiah siklus 5 tahunan tidak ada, tetapi secara empiris dan historis ada fakta yang menjelaskan bagaimana curah hujan tinggi penyebab banjir telah terjadi setiap 5 tahun sekali yakni tahun 1996, 2002, 2007 dan 2012.

Banjir tahun 2012 bisa lebih besar dari 2007. Tetapi juga ada kemungkinan lebih kecil karena adanya Kanal Timur dan perbaikan saluran drainase. Bisa juga banjir lebih besar mengingat hingga kini proyek pekerjaan saluran belum selesai dan semrawut. "Sementara Kanal Timur kondisinya belum terintegasi dengan sungai yang melalui kanal tersebut," jelas Ubaidillah.

Untuk mengurangi risiko penurunan permukaan tanah akibat penyerapan air tanah berlebihan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) mencanangkan program zero deep well (penghilangan sumur dalam). Pemilik sumur dalam biasanya industri dengan kedalaman sumur mencapai 200-300 meter. Sedangkan rumah tangga biasanya hanya sumur dangkal dengan kedalaman kurang dari 40 meter.

Ada sanksi bagi para pelanggar yakni sanksi administratif berupa peringatan hingga pengecoran sumur (ditutup). Kedua, sanksi perdata berupa pembayaran denda dan biaya air tanah yang disedot selama masa pelanggaran.

Lalu ada sanksi pidana berupa hukuman kurungan satu hingga enam bulan sesuai dengan Peraturan Daerah DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Hukuman bisa ditambah jika disimultankan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun sanksi itu dinilai terlalu ringan sehingga BPLHD akan mengajukan revisi atas Perda tersebut. (
www.detiknews.com).

0 komentar:

Posting Komentar