15 DESEMBER 2011
OLEH : EKA MELISA DAN NUR R. FAJAR, TIM STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIM
Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework on Climate Change Convention/UNFCCC) akhirnya ditutup pada Minggu Subuh tanggal 11 Desember 201, tiga puluh enam (36) jam setelah batas waktu yang telah ditetapkan (Jumat, 9/12/11).
Setelah melalui negosiasi yang alot menjelang akhir perundingan selama empat hari yang melibatkan para menteri, ketua delegasi dan negosiator senior, negara-negara peserta akhirnya menyepakati satu payung kerangka kerja paska 2012 yang disebut sebagai Durban Platform yang salah satu keputusan pentingnya adalah membentuk satu badan negosiasi baru, yang disebut sebagai Ad-Hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Actions atau disingkat sebagai AWG-DPEA.
Keputusan yang menuai banyak kritikan ini merupakan keputusan yang terbaik dari semua kemungkinan terburuk. Sebagian besar menyayangkan bahwa Durban Platform belum dapat menyepakati angka, bentuk, dan periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto, maupun rumusan terhadap komitmen negara maju yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto serta kontribusi negara berkembang dalam upaya mitigasi. Namun perlu dicatat, bahwa Durban Platform berhasil memutuskan apa yang tidak bisa diselesaikan oleh Cancun Agreement, yaitu kesepakatan bahwa rejim perubahan iklim paska 2012 akan dijalankan dengan proses berkerangka hukum dengan jadwal untuk menyelesaikan elemen-elemennya sebelum tahun 2020.
Durban Platform juga dapat dianggap sebagai terobosan dimana India dan Cina menyepakati kerangka kerja paska 2012 yang sama dengan Amerika Serikat dan Komisi Eropa serta mengembalikan kepercayaan dunia pada kerangka kerja multilateral untuk perubahan iklim.
Pandangan Indonesia terhadap Durban Platform
Delegasi Indonesia (DELRI) yang dipimpin oleh Prof. Rachmat Witoelar yang juga merupakan Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim, berangkat dengan mandat dan arahan dari Presiden Yudhoyono agar mendukung penuh upaya tuan rumah Afrika Selatan dalam menemukan jalan tengah bagi kesepakatan di Durban tanpa meninggalkan kepentingan nasional Indonesia. Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari solusi global dan berjuang untuk kepentingan negara.
Mandat dan arahan inilah yang kemudian dipegang teguh oleh DELRI ketika kemudian diundang dalam kelompok yang disebut Friends of the President, yaitu semacam negosiasi tingkat menteri dan ketua delegasi yang sifatnya terbatas. Secara aktif DELRI melakukan analisa terhadap skenario-skenario paket keputusan Durban, dan kemudian menyampaikannya sebagai usulan kedalam negosiasi tingkat tinggi tersebut.
Indonesia mendukung penuh upaya Afrika Selatan dalam mengeluarkan keputusan yang sifatnya masih berupa “landasan proses” ini karena beberapa pemikiran utama:
Pertama, periode komitmen pertama Kyoto Protokol berakhir pada tahun 2012. Apabila tidak terjadi kesepakatan di Durban mengenai proses yang dapat mewadahi negosiasi untuk rejim baru perubahan iklim paska Kyoto, maka dipastikan bahwa pada COP 18 di Doha tahun 2012, dunia akan kehilangan rejim internasional yang dapat mewadahi pasar karbon dimana para pelaku bisnis energi dan hutan di seluruh dunia akan mendapat insentif untuk melakukan bisnis rendah karbon.
Kedua, beberapa negara maju kunci (Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Kanada) telah menyatakan tidak akan turut serta dalam komitmen kedua Protokol Kyoto. Perlu ada proses yang disepakati di Durban mengenai bagaimana negara-negara ini dapat tetap dipertahankan komitmennya. Tanpa komitmen ini, akan sulit untuk mengharapkan partisipasi negara berkembang besar dalam kegiatan penurunan emisi guna mempertahankan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir dibawah level yang membahayakan.
Ketiga, elemen-elemen Bali Action Plan yang seharusnya dituntaskan modalitas dan prosedur pelaksanaannya di COP 15 di Copenhagen perlu sesegera mungkin diberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana mengimplementasikan rencana kerjanya.
Dan yang terakhir, perubahan iklim adalah masalah dunia yang harus diselesaikan bersama sebagai kewajiban moral dari semua pihak, bukan hanya dari sisi kepentingan politis dan ekonomi semata.
Durban memang belum dapat menghasilkan kesepakatan dengan level ambisi yang diinginkan banyak pihak termasuk DELRI, karena mendapatkan kesepakatan dari 193 negara dengan beragam kepentingan politik dan ekonomi bukanlah hal yang semudah membalik tangan. Apabila negara-negara kunci tetap mempertahankan posisi masing-masing, bukan tidak mungkin Durban berakhir tanpa keputusan. Perjalanan menuju rejim perubahan iklim masa depan masih tetap panjang dan berliku.
Namun marilah kita semua mengingat kembali semangat yang ditunjukan semua pihak pada saat Bali Road Map lahir empat tahun silam. Indonesia patut berbangga karena memiliki Bali Action Plan yang akan terus menjadi pegangan dan arahan dalam upaya bersama menangani permasalahan perubahan iklim secara multilateral.
0 komentar:
Posting Komentar